Jumat, 07 Agustus 2015

Dilema Presiden Rakyat (YONKY KARMAN)

Dalam hal gaya, berenanglah meniru arus; dlm hal prinsip, berdirilah seperti batu karang.

Thomas Jefferson, presiden ketiga dan bapak bangsa Amerika Serikat
Murid di sekolah dasar sekarang dapat mengkritik presiden, tentu sebab mereka mendengar ocehan orang tua. Rakyat mau banyak, tapi riilnya ekonomi kian susah. Kekecewaan rakyat sebab kurangnya kesadaran bahwa demokrasi dlm panggung politik di satu sisi menghibur, di sisi lain mengecewakan. Bagi sebagian rakyat, bulan madu dgn presiden sudah usai.

Presiden rakyat sesungguhnya buah kemenangan demokrasi, tapi bukan jaminan efektivitas pemerintahan. Usai pertarungan habis-habisan semasa pemilihan presiden, pertarungan politik belum usai. Pertarungan politik babak baru diawali dan tidak kalah beratnya. Presiden yg mendapatkan energinya dari kerja tidak dapat seketika bekerja. Ia disibukkan dgn negosiasi-negosiasi politik yg mengganggu fokus kerjanya.

Alih-alih mencuri start, presiden malah kehilangan start. Kesudahannya, pelemahan ekonomi Indonesia tidak diantisipasi dgn bagus. Telunjuk jari politisi malah seketika diberi nasihat terhadap pemerintah dan tim ekonominya. Lempar batu ngumpet tangan. Sebagian pembantu presiden malah berkepribadian politik ganda.

Partai / rakyat?

Kemauan rakyat untk presiden sesungguhnya sederhana: memihak kepentingan rakyat. Untuk itu, presiden mesti bekerja keras, tampil apa adanya dgn bahasa jelas. Ia berani memikul tanggung jawab pantas dgn amanat konstitusi. Ia tidak cari aman dgn berlindung di balik keruwetan birokrasi ataupun prosedur politik. Ia sadar bahwa kehidupan rakyat tidak dapat maju oleh politik pencitraan.

Wibawa presiden rakyat bukan dari kemegahan istana, tapi dari kesederhanaan, kejujuran, dan kerajinannya untk blusukan. Rakyat memilihnya bukan sebab ia petugas partai, tapi sosoknya yg pantas menjadi pelayan rakyat. Mandat tertinggi presiden memang dari rakyat. Tetapi, daya sosok yg merakyat sekalian jg kelemahannya. Ia tidak berakar dlm birokrasi dan partai.

Birokrasi dipegang pejabat-pejabat karier. Kultur kerja masih belum efisien melayani rakyat. Sebagai pemimpin tertinggi birokrasi, presiden tidak dapat membolehkan sistem rekrutmen direcoki orang titipan partai dgn loyalitas gandanya. Profesionalisme birokrasi adlh syarat absolut efektivitas penyelenggaraan negara. Presiden tidak dapat pengavelingan birokrasi di bawah kekuasaan asistennya yg memihak kepentingan partai.

Partai-partai lama kita menua tidak cuma dlm usia, tapi jg dlm kepemimpinan. Meskipun mengakumulasi kearifan, ketuaan jg identik dgn kelambanan mengikuti keadaan dgn dinamika kencang perubahan masyarakat dan tuntutan zaman. Pengaderan partai malah tidak kuat. Karier politisi muda yg menjanjikan terhalang kehadiran politisi senior yg masih menduduki jabatan-jabatan strategis. Kader muda yg menjabat dlm struktur kepartaian adlh mereka yg dapat menghamba terhadap konservatisme ketua partai.

Sebab presiden tidak berakar dlm partai, ia tidak cukup kuat menolak gerontokrasi partai ke dlm birokrasi. Ketika adagium zaman sudah melangkah dari survival for the fittest kepadasurvival for the fastest, kita malah merayakan survival for the oldest. Komplikasi timbul dikala pembantu presiden titipan partai tidak dapat mengatasi problem loyalitas ganda.

Soalnya adlh suara rakyat tidak selalu identik dgn suara partai. Bunyi partai penunjang presiden adlh soal jatah di kabinet. Soal kekuasaan. Soal politik praktis. Bunyi rakyat adlh suara penderitaan. Presiden adlh pengemban amanat penderitaan rakyat. Sebab itu, bagus untk partai belum tentu bagus untk rakyat.

Satu kaki di partai dan kaki lainnya di negara, fenomena pembantu presiden seperti itu memunculkan problem bagi presiden rakyat. Ada pernyataan dan kebijakan menteri yg mendahului presiden sehingga mempersempit ruang gerak presiden untk mengambil keputusan terbaik bagi rakyat dan masa depan negara.

Partai / profesional?

Problem presiden dlm penyusunan kabinet baru sekarang mencuat kembali dlm informasi perombakan kabinet. Omongan politisi partai penunjang adlh jatah tetap / bertambah. Wacana lain adlh memasukkan orang-orang dari koalisi partai berseberangan. Rakyat sesungguhnya tidak demikian itu pusing apakah pembantu presiden berasal dari partai / dari kaum profesional. Yang penting adlh bekerja profesional sebagai pengurus negara. Itulah definisi harfiah negarawan. Yang penting adlh daya kerja, sebagaimana tecermin dari nama Kabinet Performa.

Perombakan kabinet haruslah berbasis daya kerja dan loyalitas tidak terbagi. Ada sebuah pengarahan arif dari Injil, \\\"Tak seorang malah dpt bekerja untk dua majikan. Sebab ia akan lebih mengasihi yg satu ketimbang yg lain. Atau ia akan lebih setia terhadap majikan yg satu ketimbang terhadap yg lain\\\" (Mat 6:24, BIMK). Sebab loyalitas terbagi, pembantu presiden tidak segan-segan mengorbankan kolegialitas, mengeruhkan suasana kerja, dan memancing di air keruh.

Sejak era Reformasi, gairah berpolitik yg sangat tinggi belum diimbangi dgn tapa kuasa. Republik ni digerakkan oleh asa berkuasa dan melanggengkan kekuasaan lebih ketimbang asa melayani rakyat. Kegaduhan politik bukan sebab sengitnya pertarungan ideologis, tapi soal kekuasaan. Praktik bernegara kita malah masih tradisional, sedangkan pranata-pranata negara sudah modern dan demokratis.

Telaah antropologi-sosial Benedict Anderson perihal akibat konsepsi kekuasaan dlm kultur Jawa, sedangkan terkesan simplistik, membantu kita mengamati akar kemelut pemerintahan kita yg tidak efektif (Miriam Budiardjo, ed,Aneka Pemikiran perihal Kuasa dan Wibawa, 44-127).

Sejatinya menyelenggarakan negara adlh bagaimana mengaplikasikan kekuasaan dgn wajar dan efeknya adlh kesejahteraan rakyat meningkat. Tetapi, kita sibuk menghimpun dan mempertahankan kekuasaan. Indonesia sekarang tidak dpt keluar dari perangkap pertumbuhan dgn kesenjangan ekonomi yg terus melebar dan mutu hidup sebagian besar rakyat menurun.

Berbasis konstitusi, presiden Indonesia mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan itu diincar banyak pihak. Segala sistem diaplikasikan. termasuk ancaman untk memperlemah dukungan bagi presiden. Dalam konteks inilah, presiden mesti memberi model konkret seorang negarawan. Sebagai penyelenggara negara yg bagus, ia mesti meluruskan penyimpangan-penyimpangan praktik politik dan ekonomi sebagai warisan masa lalu.

Problem presiden rakyat mesti diakhiri dgn suatu kesanggupan memimpin. Komunikasi politik dgn segala partai terus dibangun, sambil tetap menjaga jarak yg sama dgn segala daya politik, sebab ia adlh presiden untk segala partai. Cocok dgn karakteristik gotong royong bangsa dan tiadanya kultur oposisi kuat, segala daya politik perlu berperan dlm pembangunan bangsa.

Jikalau kabinet dirombak, hindari cara kerja tebang pilih. Tak boleh ada menteri yg tidak tersentuh cuma sebab kaitannya dgn partai. Perombakan malah seyogianya tuntas, bukan sesuatu yg rencananya akan dilaksanakan lagi. Perombakan kabinet berkali-kali dlm satu periode pemerintahan akan berarti presiden tidak kapabel memilih pembantu yg bagus. Untuk soal ini, belajarlah dari Presiden Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar